Allah berfirman:
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,
agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)
Inilah
keadaan gambaran manusia ketika pertama kali ia lahir ke dunia yang
fana ini. Ia tidak mengetahui apa-apa, hanya menangis dan tidur yang
bisa ia lakukan. Akan tetapi, Allah yang maha Pemurah memberikan
kepadanya beberapa sarana dari anggota tubuhnya yang dapat dipergunakan
untuk mengetahui banyak hal yang masih asing baginya.
Pendengaran,
penglihatan, dan hati (akal). Inilah sarana yang sangat berperan dalam
menuntut ilmu. Yaitu untuk mendengar, melihat, dan memahami ayat-ayat
tanda kebesaran Allah dengan tujuan pada akhirnya manusia dapat
mengetahui dan mewujudkan tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yaitu
beribadah semata-mata kepada Allah.
Allah
telah memberi peringatan dan ancaman yang keras bagi manusia dan jin
yang tidak menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati mereka pada
tempat semestinya yang diridhoi dan diperintahkan Allah, yaitu untuk
mentauhidkannya. Mereka digambarkan bagaikan binatang ternak, bahkan
lebih hina.
Di
antara manusia ada yang mampu menggunakan sarana-sarana di anggota
tubuhnya untuk menuntut ilmu syar’i yang digali dari Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Merekalah para ulama dan penuntut ilmu di jalan Allah.
Namun,
berapapun banyaknya pembendaharaan ilmu yang dimiliki oleh manusia,
seluas apapun bidang ilmu yang mampudikuasainya, hanyalah sedikit sekali
dari pemberian Allah: Allah berfirman:
Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit (Al-Isra:85)
Hendaklah
seorang alim maupun penuntut ilmu mengetahui kadar ilmu yang ia miliki.
Agar ia hanya berkata dan menjawab sebatas apa yang diketahuinya ketika
ia memikul tangggung jawab untuk menjawab pertanyaan orang-orang awam.
Selebihnya, ia hanya bisa menyerahkan kepada Allah dengan menjawab
“Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)” atau “Saya tidak tahu”.
Ucapan
ini bukanlah menunjukkan kebodohan seseorang, tapi malah merupakan
suatu sikap yang sangat terpuji dan mulia, akhlaq sunni yang diwariskan
dari Rasulullah dan para Sahabat beliau, menunjukkan sifat wara’ dan
tawadhu’ seseorang di hadapan syariat Allah. Karena, di atas orang alim
ada yang lebih alim.
Telah mendahului kita para hamba Allah yang mulia dalam mengakui ketidaktahuannya. Beberapa contoh di antaranya:
1. Para malaikat.
Firman Allah Dalam Al-Quran:
Allah
berkata kepada para malaikat, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda
itu jika kamu memang benar !”Para malaikat menjawab: “Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(Al-Baqarah: 31-32)
2. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.
Firman Allah Dalam Al-Quran:
Katakanlah
(hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas
dakwahku), dan aku bukan termasuk orang yang mengada-ada.”(shad: 86)
Ibnu
Mas’ud berkata: “Barang siapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata
dengan pengetahuannya itu. Sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia
mengucapkan “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)”. Karena,
sesungguhnya Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya: Katakanlah (hai
Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu (atas dakwahku),
dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada.”
Begitu
pula ketika Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam ditanya oleh
Malaikat Jibril (dalam sebuah hadis yang panjang) tentang kapan
terjadinya Hari Kiamat. Beliau menjawab:Tidaklah yang ditanya lebih
mengetahui daripada yang bertanya.(HR. Muslim)
3. Kisah para Sahabat Rasulullah dan para ulama yang berjalan mengikuti jejak mereka.
Di antaranya:
- Abu
Bakar. Beliau pernah ditanya tentang ayat-ayat Al-Quran. Beliau
berkata: Bumi manakah yang akan menampungku, dan langit mana yang akan
menaungiku (maksudnya kemanakah aku akan pergi melangkah), jika aku
berkata tentang ayat-ayat dalam Kitab Allah, berbeda dengan maksud yang
diinginkan Allah.”
Beliau merasa khawatir untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tanpa ilmu.
-
Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau
menjawab “Saya tidak tahu”. Kemudian beliau berkata lagi “Alangkah
sejuknya hati ini” (tiga kali). Orang- orang bertanya: “Ya Amirul
Mukminin, apa maksud perkataanmu itu ?”. Beliau menjawab: “Yaitu apabila
seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab
“Allahu A’lam”.
-
Ibnu Umar pernah ditanya: “Apakah bibi dari pihak bapak ikut mewarisi
harta warisan ?”. Beliau menjawab: “Saya tidak tahu”. Yang bertanya
menimpali: “Jadi anda tidak tahu dan kami pun tidak tahu ?”. Ibnu Umar
menjawab: “Ya, pergilah ke ulama-ulama di Madinah dan tanyailah mereka”.
Setelah orang yang bertanya tadi berlalu, Ibnu Umar mencium kedua
tangannya seraya berkata: “Alangkah indahnya perkataan Abu Abdurrahman
(Ibnu Umar) ketika ia ditanya yang tidak diketahuinya ia berkata ‘ Saya
tidak tahu’ “.
-
Para Shahabat Rasulullah lainnya juga selalu menjawab
pertanyaan-pertanyaan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak
mereka ketahui dengan ucapan “Allahu wa Rasuluhu A’lam” (Allah dan
Rasulullah lebih mengetahui)
Seperti
kisah Umar bin Khattab ketika beliau ditanya Rasulullah tentang
laki-laki berpakaian serba putih dan berambut hitam legam yang datang
bertanya kepada Rasulullah masalah Islam, Iman, Ihsan, dan Hari Kiamat.
Umar bin Khattab menjawab “Allahu wa Rasuluhu A’lam (Allah dan
Rasulullah lebih mengetahui)
-
Imam Asy-Sya’by pernah ditanya tentang sesuatu, beliau menjawab: “Saya
tidak tahu”. Tapi beliau malah ditanya lagi: “Apakah engkau tidak malu
mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq ?”.
Asy-Sya’by menjawab: “Tetapi Malaikat tidak malu untuk berkata: ‘Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau
ajarkan kepada kami’ “.
-
Ibnu Wahb berkata: “Saya mendengar Imam Malik sering berkata ‘saya
tidak tahu’, seandainya kami menulis ucapannya itu pasti akan memenuhi
lembaran yang banyak.”
Itulah
ketawadhuan yang dimiliki oleh orang-orang yang terbaik dari umat ini,
kemudian diwarisi oleh para ulama sesudah mereka. Mereka tidak segan
untuk mengucapkan tidak tahu, dan tidak malu untuk mengucapkan Allahu
A’lam.
Mereka
sangat paham, bahwa ucapan itu tidak akan menurunkan derajat keilmuan
mereka. Bahkan, ucapan itu menunjukkan keilmuan dan kefaqihan seseorang.
Karena, hanya orang-orang bodohlah yang berani berbicara tanpa dilandasi ilmu. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesunggahnya
Allah tidak akan mencabut ilmu secara sekaligus. Tetapi,Allah mencabut
ilmu dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga, apabila tidaktersisa
lagi orang alim, manusia mengangkat pemimpin yang bodoh, mereka ditanyai
dan berfatwa tanpa didasari ilmu, mererka sesat lagi menyesatkan”.(HR.
Bukhari dan Muslim)
Alangkah
sangat memilukan pemandangan yang dapat kita saksikan di sekitar kita.
Memasyarakatnya bid’ah dan menyebarnya kerancuan, salah satu penyebabnya
adalah karena fatwa yang tidak didasari ilmu dari orang-orang yang
diulamakan; dianggap cendekiawan; atau dijuluki pemikir Islam oleh
mayarakat awam. Mungkin merasa gengsi untuk mengucapkan tidak tahu di
depan para penggemarnya. Allahu Musta’an…… .
Marilah
kita mengoreksi diri kita masing-masing, agar kita mengetahui kedudukan
kita dibanding para sahabat Rasulullah dan ulama umat ini untuk
berfatwa dalam syariat Allah. Mari kita ambil pelajaran dari nasehat Abu
Dziyal: “Belajarlah mengucapkan ‘saya tidak tahu’, jangan kamu belajar
mengucapkan ‘saya tahu’. Karena, jika kamu mengatakan ‘saya tidak tahu’,
kamu akan diajarkan sampai kamu tahu. Tapi,kalau kamu mengatakan ‘saya
tahu’, kamu akan terus ditanyai sampai akhirnya kamu mengucapkan ‘tidak
tahu’ “.
artikel ini saya dapat dari google hehe